SIFAT – SIFAT PEMIMPIN
(Serat Wulangreh karya
Paku Buwana IV)
Penjelasan :
1. “Amemangun karyenak tyasing
sesama” artinya berbuat untuk menyenangkan hati sesama manusia.
2. “ambeg adil paramarta” adalah
sifar kepemimpinan yang adil dan bijaksana, mengutamakan kesejahteraan rakyat
dan kepentingan umum
3. “Berbudi bawa laksana” mengandung
pengertian “suka memberi dan kesatuan antara ucapan dan tindakan”.
4. Madhangi Sing Turu.
"Urip iku mbok ya aja mung madhang ngising turu
nanging bisaa madhangi sing turu. (urip: hidup; aja: jangan; mung: cuma;
madhang: makan; ngising: berak; turu: tidur; madhangi: memberi penerangan).
Kalau di Indonesiakan menjadi: "Hidup itu jangan cuma makan, berak dan
tidur; tapi bisalah memberi penerangan pada yang tidur".
5. “Manjing ajur ajer” (Manjing:
Masuk; Ajur-ajer: Menyatu). Manusia harus mampu memasuki hati dan menyatu
dengan sesama manusia. Dengan “manjing ajur ajer” maka kita akan diterima
dimana saja, oleh siapa saja dalam kondisi apapun. Seorang pemimpin yang bisa manjing
ajur-ajer akan mengetahui situasi yang sebenarnya sehingga mampu mengambil
keputusan yang benar apa yang menjadi kebutuhan bawahan dan rakyatnya. Ia akan
banyak teman, dicintai sekaligus dihormati dan selamat.
6. “momong, momor dan momot”
sederhana saja, yaitu setelah lengser keprabon pemimpin tersebut tetap
dikenang, sesuai peribahasa “gajah mati meninggalkan gading”
“Momor” dalam dasanama Jawa lainnya disebut “amor” artinya menyatu,
bersama dan bergaul dengan lingkungan sekitar.
“momor” bersama masyarakat yang beranekaragam, kelas
sosialnya, budayanya, wataknya, kepentingannya dan keanekaragaman lain yang
masih banyak lagi, pemimpin akan tahu kehendak rakyat sekaligus tahu bagaimana
cara “momongnya”.
“momot” yang artinya “memuat” atau mengakomodasi
berbagai macam aspirasi masyarakat, sehingga tidak ada yang tercecer.
7. Tujuan kita adalah “Agawe Karya”, membangun untuk kesejahteraan. Pembangunan pendidikan dilaksanakan oleh semua pelaku pendidikan, pemerintah, juga swasta, lembaga kemasyarakatan dan masyarakat itu sendiri. Pembangunan pendidikan tidak mungkin dilaksanakan sendiri atau sendiri-sendiri, tetapi harus bersama, melalui kerjasama semua pihak.
Supaya semua berpartisipasi aktif tentunya harus diciptakan “Visi Bersama” atau “Shared Vision”. Supaya “Visi Bersama” bisa tercipta tentunya harus ada kebersamaan, dan kebersamaan tidak akan tercipta kalau tidak ada rasa cinta diantara para pelaku pendidikan. Dengan demikian ada kata “Mijil Tresna” dalam mencapai visi dan misi. Menumbuhkan kasih sayang antar sesama. Kokoh dan kompak, barulah kita mampu “Agawe Karya”
“Seje kuncit seje anggit” sebuah peribahasa Jawa yang artinya “lain kepala lain pendapat”. Tidak ada orang yang pendapatnya sama. Kita harus mampu memahami, paling tidak mampu memberikan empathy kepada orang lain. Kita harus memahami kehendak bersama berdasar tujuan pendidikan nasional, termasuk juga memahami rekan-rekan pelaku pendidikan.
Perbedaan pendapat dalam era keterbukaan yang semakin dinamis tentu saja dimungkinkan. Beda pendapat bukanlah malapetaka, justru untuk menajamkan sasaran. Mungkin kita salah, mungkin saja semua benar hanya sudut pandangnya yang beda. Memang ada orang yang “waton sulaya” tetapi ini hanyalah kasuistik. Untuk itu kita harus mampu “Among Rasa”, mampu ngemong perasaan orang lain, memahami pendapat orang lain. Andaikan toh hati panas, kepala tidak usah terbakar.
Among rasa tanpa dilandasi niat baik tentunya tidak gampang. Orang harus punya bekal “Tepa Slira” menempatkan segala sesuatunya sesuai ukuran diri kita. Kalau kita tidak suka ya jangan memperlakukan orang sesuka kita. Oleh sebab itu kita harus mampu “Nata Rasa”, menata perasaan kita terlebih dahulu sebelum memulai langkah. Kita harus siap walaupun menghadapi hal terburuk, bukan dengan bertempur mati-matian mempertahankan benarnya sendiri, melainkan untuk menyamakan visi.
“Nata Rasa” menghadapi pendapat yang beraneka ragam dan dinamis bukanlah sesuatu yang mudah. Masih lebih mudah “nata rasa” waktu dipanggil pimpinan. Hanya ada tiga kemungkinan dengan singkatan 3D: diDangu (ditanya), diDhawuhi (diberi tugas) dan diDukani (dimarahi). D yang keempat tidak saya masukkan karena terlalu enak: diDhuwurake pangkate (dinaikkan pangkat/jabatan)
8. Adigang, Adigung dan Adiguna.
Manusia hendaknya tidak mengandalkan dan menyombongkan kelebihan yang dia
miliki. (Adigang: Kekuatan; Adigung: Kekuasaan; Adiguna: Kepandaian). Kata-kata
ini dapat dibaca pada Serat Wulangreh karya Sri Sunan Pakubuwana IV, pada Pupuh
gambuh bait ke 4-10. Pada bait ke 4 di bawah, disebutkan bahwa Sifat Adigang
diwakili oleh "Kijang", Adigung oleh Gajah (esthi) dan Adiguna oleh
ular.
SURA DIRA
JAYANINGRAT LEBUR DENING
PANGASTUTI
Ismail Wiroprojo
No comments:
Post a Comment